Mempelajari jejak Sastra Jepang merupakan hal yang mengasyikkan. Terutama bagi kamu yang menyukai sejarah. Dengan mengetahui perkembangan Sastra Jepang, kamu akan lebih mudah memahami setiap karya di berbagai zaman.

Asyiknya, BINUS University menyediakan program Japanese Popular Culture. Melalui program ini, kamu bisa mempelajari budaya dan bahasa Jepang mulai dasar hingga level menengah ke atas. Nah, untuk menambah pengetahuanmu tentang sejarah Sastra Jepang, simak artikel berikut ini ya!

Jejak Sastra Jepang dari Klasik hingga Kontemporer

Sejarah Sastra Jepang tergolong panjang. Pasalnya, dalam setiap perjalanan tersebut tercermin perubahan budaya, politik, dan sosial yang terjadi. Perkembangannya sendiri terbagi dalam beberapa periode besar. Berikut periode besar yang dimaksud:

Periode Klasik 

Periode klasik berlangsung pada abad ke-8 hingga ke-12 yang terbagi dalam dua masa, yakni:

  • Nara (710–794)

Pada masa ini, karya sastra Jepang sangat dipengaruhi oleh tradisi Tiongkok. Karya sastra yang dibuat didominasi bentuk puisi dengan panjang 31 suku kata serta fokus pada kehidupan sehari-hari, alam, dan hubungan dengan Kami (dewa). Contoh: Kojiki, Nihon Shoki, dan Manyoshu.

  • Heian (794–1185)

Masa Heain bisa dibilang sebagai puncak sastra klasik Jepang yang ditandai dengan kemunculan karya sastra yang ditulis oleh wanita kalangan bangsawan. Karya sastra pada masa ini sudah menggunakan tulisan asli Jepang (Kana) serta fokus pada estetika, kehidupan istana, dan romantisme. Contoh: Genji Monogatari dan Makura no Soshi.

Periode Feodal

Periode ini berlangsung mulai abad ke-13 hingga ke-19 yang dibagi dalam tiga masa, yakni:

  • Kamakura (1185–1333)

Kamakura merupakan masa peralihan ke era samurai. Karya sastra yang muncul fokus pada spiritualitas Buddha dan nilai Bushido serta bertema penderitaan, keberanian, maupun hidup yang tidak pasti. Di masa ini, puisi berantai (renga) sangat populer. Contoh: Heike Monogatari.

  • Muromachi (1336–1573)

Kesenian pada masa Muromachi sangat berkembang pesat dan ditandai dengan munculnya no drama, yakni penggabungan puisi, musik, dan tari. Contoh: Atsumori.

  • Edo (1603–1868)

Pada periode ini, politik Jepang tergolong stabil. Hal ini mendorong peningkatan budaya yang ditandai dengan tema baru, seperti humor, urban, dan tragedi. Contoh: Ukiyo-zoshi, Haiku, serta Kabuki dan Bunraku.

Periode Modern Awal  

Jejak sastra Jepang ini dimulai pada 1868 hingga 1926 dan dibagi menjadi dua masa, yakni:

  • Meiji (1868–1912)

Tak dapat dimungkiri bahwa restorasi Meiji membawa pengaruh budaya Barat ke Jepang. Hal ini juga tampak pada karya sastra pada masa ini yang menggunakan prosa dan menggambarkan benturan antara budaya barat dengan Jepang. Terdapat juga genre baru pada masa ini, yaitu novel psikologis dan fiksi realis. Contoh: Kokoro dan Maihime.

  • Taisho (1912–1926)

Periode ini menonjolkan eksperimen gaya dan ekspresi individu. Contoh: Rashomon.

Periode Modern dan Kontemporer 

Periode ini sudah berlangsung sejak masa Showa hingga masa modern saat ini.

  • Showa (1926–1989)

Terjadinya Perang Dunia II berdampak pada perkembangan sastra. Karya pada masa ini bertemakan trauma, peperangan, dan pencarian identitas dengan eksplorasi eksistensialis dan narasi modernis. Contoh: No Longer Human, Snow Country, dan The Temple of the Golden Pavilion.

Heisei (1989–2019) dan Reiwa (2019–sekarang)

Sastra kontemporer pada masa Heisei hingga saat ini mencerminkan gambaran masyarakat global, isu urban, feminisme, identitas, dan kemajuan teknologi. Umumnya, karya sastra pada periode ini lebih universal.

Tak heran jika karya sastra pada masa ini lebih diminati dan telah beredar di berbagai belahan dunia. Contoh: Kitche, Norwegian Wood, dan Convenience Store Woman.

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa jejak Sastra Jepang terpengaruh oleh berbagai kejadian, budaya barat, dan perubahan sosial. Untuk mempelajarinya lebih lanjut, kamu bisa mengikuti program Japanese Popular Culture di BINUS University!

© binus.ac.id 2025 (LINK)