Business Law Menjadi Host Seminar Internasional Mengenai Pemblokiran Internet dan Kepentingan PublikBusiness Law Menjadi Host Seminar Internasional Mengenai Pemblokiran Internet dan Kepentingan Publik
Pada tanggal 22 Juli, Business Law Universitas Bina Nusantara menyelenggarakan acara webinar internasional ‘Measuring Public Interest: Internet Blocking in Theory and Practice’. Webinar tersebut menarik kurang lebih 100 peserta dengan latar belakang mahasiswa, akademisi, praktisi hukum, pemerintah, dan LSM.
Webinar tersebut diisi oleh tiga narasumber: 1. Prof. mr. dr. M.A.H. van der Woude dari Van Vollenhoven Institute, Leiden Law School, Leiden University, 2. Ardi Sutedja K, S.H., MBA, pendiri Indonesian Cyber Security Forum (ICSF), dan 3. Dr. Bryan Amy Prasetyo, S.H., MLI dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan pengurus Indonesian ICT Law Association. Dr. Bambang Pratama, dosen Cyber Law di Business Law Universitas Bina Nusantara, bertindak sebagai moderator.
Prof. van der Woude melalui presentasinya yang berjudul ‘Governing through Crises? Civil Liberties under Pressure’ menjelaskan bagaimana di sebuah negara hukum (rule of law, rechtstaat) selalu ada ketegangan antara dua tujuan dari negara hukum tersebut, yaitu: 1. Perlindungan untuk warga terhadap pemerintahan yang sewenang-wenang, 2. Perlindungan warga terhadap ancaman dari luar (warga lain, perang, bencana, dll). Pada masa digital ini, akses terhadap informasi semakin besar, termasuk informasi yang menimbulkan ketidakpastian dan kekhawatiran. Sebagai contoh, mayoritas warga Belanda memiliki persepsi bahwa dunia sudah menjadi makin tidak aman, walaupun bukti ilmiah (misalnya statistik kejahatan, statistik kecelakaan, ekspektasi hidup) menunjukkan bahwa lingkungan hidupnya telah menjadi yang paling aman di dalam sejarah. Persepsi mengenai ketidakamanan tersebut tidak jarang akan diproyeksikan kepada “orang luar” (pemegang agama, ras, orientasi seksualitas, atau ideologi yang lain) dengan ekspektasi bahwa pemerintah akan bertindak pada kelompok tersebut. Di dalam situasi ini beberapa partai politik di Uni Eropa telah menyalahgunakan kecemasan itu dengan menjadikan kelompok minoritas sebagai kambing hitam (Muslim, imigran, LGBT) untuk memajukan agenda politiknya yang bertitik berat pada keamanan nasional dengan membatasi hak-hak sipil – khususnya bagi kaum minoritas tersebut dan pembela hak-haknya. Prof. van der Woude menekankan bahwa diskresi yang dipegang oleh negara untuk menjaga keamanan publik sangat penting. Misalnya, dalam kasus pemblokiran sinyal HP oleh polisi Belanda sebagai langkah pencegahan tawuran antara hooligan klub sepak bola – namun diskresi itu harus datang bersamaan dengan akuntabilitas publik, supaya penyalahgunaan wewenang oleh negara, atau instansi negara dapat dihindari.
Narasumber selanjutnya, Bapak Ardi Sutedja, memberikan beberapa angka yang menunjukkan betapa masifnya penggunaan internet di Indonesia dan membuat pengaturannya menjadi hal yang sangat kompleks. Oleh karena itu, pengaturan internet membutuhkan kerjasama antara pemerintah, industri digital dan masyarakat.
Dr. Prasetyo selaku narasumber terrakhir memberikan paparan mengenai analisa putusan PTUN Jakarta tentang pemblokiran internet di Papua. Dr. Prasetyo menjelaskan bahwa di dalam putusannya hakim menilai bahwa walaupun pemerintah RI memiliki kewenangan untuk menggunakan instrument pemblokiran internet, dalam kasus ini penggunaan kewenangan tersebut tidak dilakukan sesuai prosedur (harus ada pernyataan keadaan darurat oleh Presiden dulu) dan dianggap tindakan yang disproporsional.
Acara tanya-jawab berjalan dengan cair dan lancar. Bagi mahasiswa BINUS, yang merupakan mayoritas peserta dalam acara ini, webinar ini menjadi kesempatan yang sangat berharga untuk mendapatkan pandangan yang menyeluruh tentang ketegangan antara kepentingan publik dan hak individu, terutama dalam hal pembatasan internet dan kebebasan informasi. (***)
Comments :